Senin, 16 Juli 2012

Dua Cerita


Terkadang karena segala kesibukan, kita hidup seperti mesin; selalu membuat rencana, membuat target dan mengharapkan hasil yang sempurna. Bahkan waktu mau tidur pun, terkadang masih memikirkan pekerjaan siang tadi, merasa kesal atas hal yang belum selesai dan membuat rencana untuk besok. Lebih parahnya lagi kalau timbul perasaan bersalah ketika kita mengambil sedikit waktu hanya untuk kesenangan, tidak melakukan sesuai rencana atau menjadi kurang sempurna. Jika terjadi seperti itu maka kita harus lebih manusiawi lagi terhadap diri kita masing-masing. 

Berikut adalah 2 cerita berkesinambungan yang saya ambil dari buku dengan judul “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya” halaman 11-17, karangan Ajahn Brahm. Cerita ini selalu menginspirasi saya untuk berhenti sejenak dari kesibukan; hanya untuk mengambil nafas dan beristirahat dari segala pekerjaan yang rasanya tidak pernah selesai. 

Yang Sudah Selesai, Ya Sudah Selesai

Musim hujan di Thailand berlangsung dari bulan Juli sampai Oktober. Selama periode tersebut, para biksu berhenti bepergian, menghentikan semua pekerjaan proyek, dan mencurahkan diri sepenuhnya untuk belajar dan bermeditasi. Periode tersebut disebut “wassa” atau “penyunyian musim hujan”. 

Beberapa tahun yang lalu di Thailand selatan, seorang kepala wihara terkenal membangun sebuah aula baru di wihara hutannya. Saat wassa tiba, dia menghentikan seluruh pekerjaan proyek dan memulangkan tukang-tukangnya. Ini adalah saat untuk hening di wiharanya.

Beberapa hari berikutnya seorang pengunjung datang, menyaksikan pembangunan yang setengah jadi, dia bertanya kepada kepala wihara, kapan aulanya selesai. Tanpa ragu-ragu, sang biksu tua berkata, “Aulanya sudah jadi”.

“Apa maksud Anda dengan sudah jadi?” tanya balik si pengunjung. “Itu belum ada atapnya, tak ada pintu atau jendela, banyak potongan kayu dan kantong semen berserakan. Apakah Anda akan membiarkan begitu saja? Apa yang Anda maksud ‘aulanya sudah jadi’?”

Kepala wihara tersenyum dan menjawab lirih, “Yang sudah selesai, ya sudah selesai,” dan dia pun beranjak pergi untuk bermeditasi.

Itulah satu-satunya cara untuk melaksanakan penyunyian atau rehat. Jika tidak demikian, pekerjaan kita tidak akan pernah selesai.

Petunjuk Kedamaian Pikiran untuk Si Bodoh
Saya menceritakan kisah sebelumnya kepada sekelompok besar pendengar, pada suatu Jumat petang di Perth. Pada hari Minggu-nya, seorang ayah datang dengan marah-marah untuk berbicara kepada saya. Dia mengikuti ceramah tersebut dengan anak remajanya. Masalahnya, ketika hari Sabtu siang si anak ingin pergi bersama teman-temannya, si ayah bertanya kapada anaknya, “Kamu sudah bikin PR belum?” Anaknya menjawab, “Seperti yang diajarkan Ajahn Brahm semalam di wihara, Papa, yang sudah selesai, ya sudah selesai! Daaa... daaa...!”

Pada hari minggu berikutnya, saya menceritakan kisah yang lain.

Kebanyakan orang di Australia memiliki taman di rumahnya, tetapi hanya segelintir orang yang tahu bagaimana menemukan kedamaian di taman mereka. Bagi yang lainnya, taman hanyalah tempat bekerja yang lain. Jadi saya menganjurkan mereka yang punya taman untuk memelihara keindahan taman dengan berkebun sejenak, dan memelihara hati mereka dengan sejenak duduk dalam damai di tamannya, menikmati berkah alam.

Orang bodoh pertama akan berpikir, ini gagasan bagus yang mengasyikkan. Jadi, pertama-tama mereka memutuskan untuk membereskan segala pekerjaan yang remeh-temeh, sesudah itu mereka baru akan melarutkan diri dalam kedamaian di taman. Jadi, hamparan rumput harus dipotong, bunga perlu disirami, dedaunan perlu dipangkas, semak-semak harus dibabat, jalan setapak harus disapu..... Tentu saja ini menghabiskan seluruh waktu luang mereka, dan pekerjaan yang beres pun baru sebagian kecil. Pekerjaan mereka jadinya tak pernah selesai, dan mereka tak akan pernah memiliki sejenak waktu untuk diam dalam damai. Pernahkah Anda perhatikan bahwa di dalam budaya kita, orang-orang yang “istirahat dalam damai” hanya dapat ditemukan di pekuburan?

Orang bodoh kedua berpikir bahwa mereka lebih pintar dari orang bodoh pertama. Mereka menyingkirkan semua garu dan penyiram, lantas duduk di taman sambil membaca majalah, bisa jadi, yang berisi gambar pemandangan alam nan aduhai. Tetapi, itu berarti menikmati majalah, bukannya menemukan kedamaian di taman.

Orang bodoh ketiga menyingkirkan semua peralatan berkebun, semua majalah, koran dan radio, dan duduk diam dalam damai ditamannya.... selama kira-kira 2 detik! Lalu mereka mulai berpikir, “Rumput itu perlu dipotong dan semak-semak disana harus dibabat segera. Jika saya tidak segera menyiram bunga-bunga itu, mereka akan layu. Dan rasanya tanaman kaca-piring yang indah akan tampak bagus di sudut sana. Ya! Dengan sedikit hiasan tempat mandi burung di depan situ. Saya bisa membelinya di tempat pembibitan....” Itu sih namanya menikmati berpikir dan berencana. Tak ada kedamaian pikiran di situ.

Pekebun yang bijak akan mempertimbangkan, “Saya telah bekerja cukup lama, sekarang waktunya untuk menikmati buah dari pekerjaan saya untuk mendengarkan kedamaian. Jadi biarpun rumput perlu dipotong dan dedaunan harus dipangkas dan bla, bla, bla! TIDAK SEKARANG.” Dengan cara inilah, kita temukan kebijaksanaan untuk menikmati taman, sekalipun tidak sempurna.

Siapa tahu ada seorang biksu tua Jepang bersembunyi dibalik salah satu semak dan siap untuk melompat keluar dan memberitahukan kita betapa sempurnanya taman tua kita yang berantakan. Sungguh, jika kita memusatkan perhatian pada pekerjaan yang telah kita selesaikan, alih-alih memusatkan pada pekerjaan yang masih harus diselesaikan, mungkin kita akan mengerti bahwa yang sudah selesai, ya sudah selesai. Namun, jika kita memusatkan perhatian hanya untuk melihat kesalahan pada sesuatu yang harus diperbaiki, seperti dalam kasus tembok bata di wihara saya, kita tak akan pernah tahu apa itu kedamaian.

Pekebun yang bijak akan menikmati lima belas menit kedamaian di tengah kesempurnaan dari tidak sempurnanya alam, tidak berpikir, tidak berencana, dan tidak merasa bersalah. Kita semua berhak untuk pergi dan mendapatkan kedamaian; tetapi orang lain pantas kehilangan kedamaian dengan cara mereka sendiri! Lalu, setelah memperoleh bagian terpenting dan vital dalam lima belas menit dalam damai, kita bisa meneruskan tugas berkebun kita.

Saat memahami bagaimana menemukan kedamaian di taman, kita akan tahu bagaimana menemukannya kapan saja, di mana saja. Khususnya, kita akan tahu bagaimana menemukan kedamaian di dalam taman hati kita, sekalipun pada saat kita berpikir bahwa ada begitu banyak ketidakberesan, begitu banyak yang harus diselesaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar